Dehumanisasi Pendidikan Nasional  Kita

Pendidikan dimaknai sebagai upaya sadar untuk mengembangkan manusia sesuai dengan kecerdasannya, atau sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Hal itu sesuai dengan empat pilar pendidikan menurut UNESCO, yakni (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning live together. Dengan demikian, maka pendidikan akan menjadikan manusia untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan, memiliki keterampilan, menjadi dirinya sendiri sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta dapat hidup bersama dengan sesamanya. Manusia tidak akan dapat menjadi manusia seutuhnya, jika tidak melalui proses pendidikan oleh manusia, dengan cara manusia, dan dalam suasana kemanusiaan. Pendidikan harus difikirkan sebagai proses penyesuaian timbal balik manusia dengan alam, dengan manusia lain, dan akhirnya terhadap alam raya ini (Brubacher). Mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas segala tindakannya menurut pilihannya sendiri.(M.J. Langeveld).Oleh karena itu proses pendidikan tidak boleh tidak harus berlangsung secara manusiawi dengan proses yang memanusiakan (humanisasi), dan bukan sebaliknya, yakni dehumanisasi.                
Banyak praktik  pendidikan yang selama ini kita laksanakan secara sengaja atau tidak, langsung atau tidak, justru menyimpang dari proses humanisasi. Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia.  Dehumanisasi pendidikan  dapat dilakukan oleh pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah, oleh pelaku pendidikan atau guru, oleh masyarakat atau orang tua. Dehumanisasi pendidikan  juga bisa berlangsung dengan aturan pendidikan itu sendiri, dan pengaruh budaya lingkungan yang ada.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah pengertian dari Dehumanisasi Pendidikan ?
1.2.2 Bagaimana Bentuk Dehumanisasi Pendidikan di indonessia ?
1.2.3 Bagaimana Upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi Dehumanisasi Pendidikan di Indonesia ?

BAB II
Pembahasan
2.1 Pengertian Dehumanisasi
            Pendidikan diyakini sebagai kunci pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia. Namun, pendidikan kita mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Sebagai contoh Tawuran antar pelajar terutama dikota kota besar, aborsi, penyalahgunaan pornografi, pelanggaran etika dan norma-norma sosial lainnya yang kini mewabah di kalangan terpelajar menunjukkan bahwa selama ini telah terjadi dehumanisasi pendidikan pada hampir setiap jenjang pendidikan. 
              Bisa juga dikatakan bahwa pendidikan kita mengalami “kegagalan” apabila kita menengok beberapa kasus beberapa saat yang lalu telah muncul ke permukaan. Berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan kita, mengindikasikan bahwa pendidikan belum mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang punya jiwa sosial dan kemanusiaan. Dimana  Realitas proses pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah selama ini sama sekali tidak memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis mereka. Peserta didik masih saja menjadi obyek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu apa-apa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali dan disuapi. Setiap hari indoktrinasi dan brainwashing terus saja terjadi terhadap anak-anak. Anak-anak terus saja dianggap sebagai bejana kosong yang siap dijejali aneka bahan dan kepentingan demi keuntungan semata. Anak-anak dipasung kebebasannya, tidak lagi dilihat sebagai anak (lebih-lebih di pendidikan dasar), tetapi sebagai robot, beo, dan kader politik mini yang hanya tahu melaksanakan perintah ”tuan”nya.

2.2 Bentuk-Bentuk Dehumanisasi di Indonesia
A. Dehumanisasi yang dilakukan oleh pemerintah
.      1. Kontroversi Ujuan Nasional
Pemberlakukan UN dengan standar pencapaian nilai minimum yang akan menentukan vonis lulus tidaknya peserta didik tanpa menghiraukan penyebab dibalik ketidaklulusan peserta didik, sama halnya dengan memperlakukan peserta didik sebagai benda mati. Keunikan setiap individu peserta didik sebagai manusia telah diabaikan mentah-mentah dengan logika pembendaan tersebut. Inilah yang dimaksudkan dengan proses dehumanisasi peserta didik.
Penyelenggaraan UN juga telah melecehkan kemerdekaan pendidik dalam berpikir dan berbuat. Pemerintah hanya seolah-olah saja berusaha menyenangkan hati para pendidik dengan pemberlakuan KTSP yang pada prinsipnya membebaskan pendidik dan satuan pendidikan dalam penerapan kurikulum sesuai dengan keunikan potensi sekolah dan daerah masing-masing. Pasalnya, meskipun KTSP telah ditetapkan pemberlakuannya, pemerintah masih saja ingin menilai keberhasilan pencapaian kompetensi peserta didik dengan UN yang jelas-jelas tidak saling bersinergi. Sebab, apa yang telah dipelajari oleh peserta didik yang ada di sekolah satu dengan sekolah lainnya jelas-jelas berbeda karena penerapan KTSP antara masing-masing sekolah tentunya juga berbeda. Pada akhirnya, pendidik lah yang harus mengalah dengan mengikuti kemauan pemerintah yang telah menetapkan standar-standar tertentu atas pencapaian hasil belajar peserta didik melalui UN, jika mereka tidak ingin mendapatkan berbagai hukuman seperti vonis ‘tidak lulus’ maupun ‘sekolah tidak favorit’.
Penilaian pencapaian kompetensi peserta didik melalui UN adalah praktek pengabaian kecerdasan afektif dan psikomotorik yang dimiliki oleh peserta didik. UN jelas-jelas bertentangan dengan konsep kompetensi lulusan yang mencakup unsur afektif dan psikomotorik, selain unsur kognitif dalam konstitusi. Padahal menurut Bloom, fungsi dari masing-masing aspek kecerdasan tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Bila seorang peserta didik yang tidak lulus UN dianggap ‘tidak cerdas’ secara kognitif, maka hal tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap keutuhan kecerdasan majemuk yang dimiliki oleh manusia.
Pendidikan sebenarnya terjadi sepanjang hayat dan ‘kehidupanlah’ yang berhak menilai seorang individu, lain halnya dengan persekolahan yang hanya sebagian kecil dari proses pendidikan, dan dijalani peserta didik dalam kurun waktu yang terbatas. Education is not schooling, sehingga penyamaan makna pendidikan dengan persekolahan akan membuat makna pendidikan tereduksi menjadi sangat sempit.  
2. Pengelompokan Akademis
Kebijakan dan praktek pengelompokan anak berdasarkan kemampuan akademis (ability grouping) baik di dalam kelas, sekolah, maupun antar sekolah merupakan salah satu topik penelitian dan perbincangan yang kontroversial di kalangan para pendidik.  Banyak kritik  praktek pembagian siswa berdasarkan kemampuan akademis dengan beberapa alasan.  Pertama, kriteria yang biasanya digunakan untuk membagi siswa seringkali merupakan persepsi subyektif dan pemahaman yang sempit mengenai konsep kecerdasan anak.  Kedua, pengelompokan akan menimbulkan pelabelan anak (pintar, bodoh, cepat, lamban) dan kerancuan antara konsep kecepatan belajar dengan kapasitas belajar.  Ketiga, penempatan anak pada kelompok atau jalur yang berbeda akan mengarah pada harapan, target, dan ekspektasi yang berbeda pula terhadap anak padahal ada penelitian yang mendukung bahwa motivasi dan hasil belajar anak terkait secara positif dengan ekspektasi guru dan mitra belajarnya.  Sekali anak dimasukkan dalam satu kelompok tertentu, kemungkinan sangat besar anak tersebut akan tetap tinggal di kelompok itu sampai akhir masa sekolahnya.  Vonis mengenai kemampuan anak pada masa pendidikan sama dengan ramalan yang akan menjadi kenyataan. 
3. Pengelompokan Sosio-Ekonomis
Pembagian jalur yang  dilakukan berdasarkan kemampuan finansial anak, membawa dampak amat serius dan membawa berbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat.  Anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan yang homogen.   Anak-anak dari keluarga mampu akan berinteraksi dengan anak-anak lain yang setara secara sosio-ekonomis dan demikian pula dengan anak-anak miskin.  Padahal seharusnya anak-anak dari berbagai latar belakang sosio-ekonomis bisa saling berinteraksi dan memperkaya dengan pengalaman hidup mereka masing-masing.  Sempitnya lingkungan belajar selama masa sekolah akan membuat anak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan empati dan solidaritas terhadap orang lain yang berbeda.  Anak perlu belajar mengembangkan kemauan dan kemampuan untuk mengenal dan menghargai manusia lain sebagai seorang individu yang utuh dan bukannya sebagai anggota suatu kelompok yang asing dan mengancam.
Realita di masyarakat saat ini, terutama di kota-kota besar, memang sudah menunjukkan pemisahan warga masyarakat berdasarkan kelas seperti yang terlihat di lingkungan pemukiman, pusat perbelanjaan, sekolah, tempat rekreasi, dan bahkan tempat ibadah.  Yang seharusnya dilakukan oleh para pembuat kebijakan pendidikan adalah mendesain model pendidikan yang bisa menyiapkan anak-anak agar nantinya mereka bisa menjadi agen perubahan dan mendobrak berbagai sekat dalam masyarakat.
Di balik segala keteraturan dalam masyarakat Brave New Worldseperti yang dijanjikan dalam jargon mereka Komunitas, Identitas, dan Stabilitas, ada proses dehumanisasi manusia.  Pembagian anak ke dalam jalur pendidikan formal standar atau mandiri di Indonesia juga akan menghasilkan komunitas anak bangsa yang tersekat-sekat, identitas sebagai hasil dari proses yang diskriminatif, dan stabilitas yang hanya menguntungkan penguasa.  Di balik segala tatanan yang nampaknya teratur itu muncul suatu kegamangan karena segala upaya pengelompokan dan pengkondisian manusia sesuai label yang diciptakan penguasa telah mencerabut kebebasan manusia untuk menjadi dirinya sendiri dan mencapai yang terbaik yang dia bisa.
Kondisi seperti inilah yang semakin membuat rakyat miskin sulit dan terjepit untuk memikirkan pendidikan anak-anaknya. Boro-boro memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya untuk hidup sehari-hari saja sudah megap-megap. Tetapi kenyataannya biaya pendidikan tidak mengalami perubahan bahkan semakin membuat sesak dada. Jika sudah demikian siapa yang menjadi korban? Tentunya masyarakat kelas bawah yang mempunyai penghasilan pas-pasan. Memang sungguh tragis nasib orang miskin.
Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Di mana Anak Miskin Bersekolah?, secara “nakal” Darmaningtyas, pengamat pendidikan mengkategorikan empat golongan yaitu pertama anak kaya dan pintar, kedua, anak pintar tapi miskin, ketiga, anak bodoh tapi kaya, dan yang keempat anak miskin dan bodoh (Kompas, 19/07/04). Dari keempat kategori ini, anak bodoh dan miskin akan mengalami nasib yang tidak beruntung karena mereka akan mendapat sekolah swasta yang tidak bermutu atau pinggiran yang minim sarana dan prasarana, mutu jelek, disiplin rendah dan biaya tinggi karena ditanggung sepenuhnya oleh murid. Masyarakat miskin dan bodoh itu harus menanggung penuh pembiayaan sekolah karena sekolah-sekolah itu tidak mendapat subsidi pemerintah. Kalau pun dapat hanya kecil dibandingkan dengan sekolah-sekolah negeri atau sekolah yang sudah mapan. Ini suatu ironi dalam kebijakan pendidikan nasional yang miskin membayar lebih banyak untuk mendapatkan yang sedikit, sedangkan yang kaya membayar sedikit untuk mendapatkan yang banyak.
4.  Korban  politik
Pendidikan memang sasaran empuk dikomoditaskan secara politik. Ketika musim kampanye isu pendidikan dijadikan bahan penarik simpati. Pendidikan gratis atau murah kerap diwacanakan namun tidak pernah menjadi kenyataan. Selalu ada cara membebani peserta didik dan orang tuanya dengan aneka pungutan, karena baik negeri dan swasta sudah terbangun image pendidikan yang bagus adalah yang mahal. 
Peserta didik telah menjadi obyek demi kepentingan ideologi, politik, industri dan bisnis. Salah satu contoh paling nyata adalah asumsi bahwa apa yang diajarkan jauh lebih penting dari siapa yang diajar. Prestasi guru juga diukur dari nilai yang didapat peserta didiknya. Guru sebagai pendidik tidak mampu menghentikan dehumanisasi ini karena guru sendiri terjebak sebagai obyek dalam sistem pendidikan nasional.
Dilain pihak (interelasi antara teori dan praktek) pendidikan masa orde baru masih menyisahkan persoalan filosofis yang amat mendasar karena kebijakan orde baru yang menempatkan pendidikan untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan yang akhirnya terabaikannya perkembangan manusia sebagai individu yang bebas. Citra diri manusia sebagai individu, lebur kedalam sistem politik yang sentralistik, hegemonik dan totalitarian. Faktor lain yang turut menghambat proses pendidikan adalah ketersediaan fasilitas seperti ruang kelas, kinerja guru, kinerja subjek didik, buku, laboratorium, tempat praktek, manajemen sekolah, kurikulum sekolah, partisipasi orang tua, pertisipasi masyarakat, praksisi pendidikan dikeluarga, pendidikan guru dan lain-lain. Permasalahan dalam dunia pendidikan seperti ini tentunya menyeret opini publik akan kinerja pengelola pendidikan dinegeri yang multi krisis ini. Sangat wajar jika banyak kalangan menilai bahwa pendidikan tak berubah dan masih seperti kekuasaan yang bisa dipermainkan kapan saja dan dimana saja sehingga membuat mandul dan kurang produktif dalam membuat dan mengeluarkan ide-ide pembaharuan pendidikan yang lebih dinamis. Seperti bandul, pendidikan nasional terus terombang ambing dalam kebijakan dan praktik politis pendidikan yang tidak jelas dari pendidikan itu sendiri. Padahal, menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa maksud dari pendidikan ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
B. Dehumanisasi Pendidikan yang dilakukan  Guru.
1. Guru kasar dalam kelas.
Potret yang paling sering kita lihat dimana  para guru tengah mengalami belenggu kemiskinan, finansial, intelektual, emosional, kultural dan spiritual (Anita Lie, 2008). Akibatnya, semakin menjadi kebiasaan guru yang bekerja sampingan sehingga tugas utamanya sebagai pendidik terlupakan, jarang membaca dan belajar, karena terbebani urusan administrasi, cenderung berlaku kasar dan mengumpat, dan pada akhirnya kehilangan identitas dan integritas. Makin jarang dijumpai guru yang mengajar dengan cinta kasih. Guru yang memberikan sepenuh waktu dan hidupnya untuk kesejahteraan hidup peserta didiknya. Guru yang merasa gembira ketika peserta didiknya berhasil dan guru yang merasa bersedih ketika menyaksikan peserta didiknya gagal dalam mencapai tujuan dan cita-citanya. Guru-guru yang demikian hanya akan lahir dalam suasana pembentukan yang memang mengedepankan aspek pemanusiaan dan pembudayaan.
            Karena itu mesti dicatat, pekerjaan sebagai guru tidak sama dengan bekerja di pabrik. Menjadi guru adalah membentuk manusia. Ia menggantikan peran orang tua yang menyerahkan seluruh tanggung jawab sosialnya kepada sekolah untuk dibentuk dan diarahkan. Ketika guru lupa menyadari tanggung jawab sosial nan berat ini dapat ditebak, arah pendidikan dan pembentukan kian samar-samar dan kabur. 
Pekerjaan sebagai guru tak lagi sebuah panggilan. Padahal motivasi sosial inilah yang pertama-tama menggerakkan seseorang menjadi guru. Proses pendidikan di dalam kelas tidak terjadi proses humanisasi, melainkan dehumanisasi. Anak dipandang sebagai botol kosong yang diisi dengan muatan yang sama. Proses pembelajaran tidak terjadi secara edukatif, tidak menyenangkan, dan kelas bahkan lebih cenderung sebagai penjara, tidak PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Pelecehan sekecil apapun atau hukuman yang berlebihan turut andil menabur benih kekerasan dalam diri generasi muda. Karena itu, tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan pendidikan harus sesegera mungkin di tiadakan, agar lingkaran setan yang menjadi bencana dunia pendidikan dapat segera terputus. Oleh sebab itu, semua pihak, baik pengajar, masyarakat, siswa dan mahasiswa maupun lembaga pendidikan harus benar-benar memperhatikan hal ini. Kontrol dan perhatian semua elemen masyarakat terhadap kebijakan pendidikan dapat menjadi tameng untuk menekan tumbuhnya kekerasan dan pelecehan dalam proses pendidikan.
2.Guru Otoriter
Sistem dengan gaya komando ini hanya akan mengakibatkan interaksi antara guru dengan murid bersifat otoriter, dan membatasi gerak dari anak didik karena adanya kesan bahwa murid harus selalu tunduk dan hak-hak mereka untuk membantah dalam hal yang positif atau bertanya secara kritis dibatasi. Menurut Romo Mangun semestinya pendidikan di sekolah harus terbuka dan menjadi peristiwa perjumpaan antar pribadi yang saling mengasihi dan sebagai ajang untuk menjalin kemitraan, bukan penjinakan terhadap mereka, dengan adanya interaksi yang baik maka akan menumbuhkan rasa persaudaraan yang menggembiraka.
C. Dehumanis Pendidikan oleh Lingkungan Masyarakat.
Pengamat pendidikan dari Perguruan Taman Siswa  Ki Darmaningtyas menilai, terjadinya dehumanisasi pendidikan tidak lepas karena pengaruh lingkungan dari luar sekolah. ''Ini terjadi karena di sekolah waktunya terbatas, sementara di luar lebih banyak waktu dinikmati oleh pelajar. Karena itu, lingkungan masyarakat memainkan peranan, namun yang paling dominan adalah pengaruh media massa.
Selain melaui media massa, banyak tersaji perilaku masyarakat yang telanjang terlihat oleh anak- anak kita, dengan kecurangan dan jauh dari sifat mendidik, diantaranya :
1.Saling salib dalam berkendara kendaraan bermotor tanpa menghiraukan aturan lalu lintas dengan benar.
2.Budaya antri baik pelayanan umum atau penggunaan fasilitas umum sudah sangat mahal harganya, sehingga yang terjadi saling serobot dengan kepentingan pribadinya sendiri,
3.Perilaku semau gue , cuek dan bangga atas perilaku yang jauh dari kesopanan dan kearifan sering terlihat pada perilaku hampir semua masyarakat.
4.Perilaku curang dalam bekerja atau mencari nafkah baik yang berstatus abdi negara atau partikelir, bahkan menghalalkan budaya korupsi.
5.Tidak malu berbuat salah, melanggar aturan atau  norma .
6.Mudah marah dan menimbulkan keonaran, pertengkaran dengan sebab yang sepele.
7.Mengagungkan materi, sehingga semua gerak harus diukur dengan keuntungan materi semata.
8.Pelacuran yang sebenarnya, sampai pada pelacuran dalamkiasan yaitu pelacuran pendidikan, pelacuran politik dll.
Menurut Darmaningtyas, media massa, dalam hal ini televisi, justru memberikan inspirasi dan kesan yang mendalam pada pelajar dan mahasiswa, khususnya pada tayangan yang berbau seksual dan kekerasan. Sebab itu lanjutnya, tak mengherankan pula, jika akhir-akhir ini, banyak siswa dan mahasiswa yang terjebak dalam kekerasan, juga terjebak dalam degradasi moral, baik di sekolah maupun di luar sekolah,'' ujarnya. Tak aneh ketika buahnya adalah kekerasan dalam pendidikan yang kian merebak. Peserta didik lebih mendengarkan nasihat televisi, film kartun ketimbang nasihat para gurunya. Bunuh diri, kekerasan guru dan peserta didik, antar peserta didik menjadi ulasan media yang terus-menerus terjadi.
Jadi, sebenarnya praktik dehumanisasi bias ter jadi tidak dalam bentuk kebijakan pemerintah, muncul dari praktik pelaksanaan pembelajaran, atau dari proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah dan dilingkungan masyarakat seperti yang telah dijabarkan di atas. Dimana Sudah  tentu, malpraktik pendidikan atau pelanggaran hak azasi manusia dalam pendidikan dapat disebut sebagai dehumanisasi dengan berbagai tingkatannya. Sebagaimana kita fahami selama ini, yang seharusnya pendidikan harus menjadi proses humanisasi manusia, karena manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat mendidik dan di didik (educandum dan educabile). Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini masih sering terjadi praktik pendidikan yang membelenggu kebebasan hakiki manusia. Tidak jarang juga terjadi praktik pendidikan yang memperlakukan anak didik tidak lebih sebagai pelayan dengan menempatkan posisi pendidik sebagai tuannya.


2.3 Upaya –upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi dehumanisasi pendidikan di Indonesia
2.3.1. Memperbaiki Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan  Tenaga Pendidik
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1991) Pendidikan diartikan sebagai proses pembelajaran bagi individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek-obyek tertentu dan spesifik. Salah satunya dengan bersekolah. Sekolah merupakan lembaga social yang keberadaannya merupakan bagian dari system social Negara bangsa, kalau kita cermati, tujuan pendididikan yang dirumuskan dalam UU pendidikan nasional, baik UU No. 4 tahun 1950, Ju UU No. 12 tahun 1954 yang menciptakan manusia terdidik Indonesia sebagai “ manusia susila yang cakap dan demokratis serta bertanggung jawab”, atau UU No. 2 Tahun 1989, yang menciptakan wujud manusia Indonesia terdidik sebagai “ manusia yang beriman dan bertaqwa, sehat jasmani dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan” dan yang terakhir UU No. 2 tahun 200, yang menciptakan “ manusia yang beriman, bertaqwa dan berhaklak mulia, dan sebagainya” dimana kesumuanya mewujudkan manusia yang ideal.
Ketercapaian atau keberhasilan tidak mungkin tercapai tanpa suatu proses yang terencana, terprogram, dan terlaksana dengan efisien, efektif dan relevan. Namun, pada umumnya, tujuan pendidikan yang demikian ideal selama ini tidak pernah dengan sungguh-sungguh di terjemahkan atau di praktikan secara operasional. Bahkan banyak sementara orang, termasuk para pejabat atau pakar yang memandang hal tersebut tidak mungkin dapat dicapai oleh sekolah. Dimana mereka adalah kaum realis yang menilai ada yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan disekolah sekarang ini, dengan pengertian rendahnya kesungguhan dan kemampuan guru serta terbatasnya fasilitas serta sarana dan prasarana dengan pengertian waktu yang terbatas, model pembelajaran yang tidak lebih dari mendengarkan, mencatat, dan menghafal dengan evaluasi hanya mengukur kemampuan mengingat apa yang telah dipelajari.
Dalam Bukunya Prof. Dr. Soedijarto, M.A yang berjudul “Landasan Dan Arah Pendidikan Nasional Kita” di katakana bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan dimana menjadikan manusia susila yang cakap dan demokratis serta bertanggung jawab , manusia yang beriman dan bertaqwa sehat jasmani dan rohani dll sehingga mewujudkan sosok manusia yang ideal sesuai dengan Rumusan UU Pendidikan Nasional. Adapun hal yang perlu di perbaiki maupun dikaji dalam hal ini yaitu :
A. Materi Kurikulum yang relevan
Untuk menjadikan masyarakat Indonesia yang modern dan bermartabat dalam era globalisasi materi pendidikan yang di gunakan oleh sekolah-sekolah haruslah dapat dijadikan objek belajar. Dimana didalam UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 telah memberikan gambaran dimana dalam UU No. 2 tahun 1989  pembagian mata pelajaran dari (Tingkat pendidikan Dasar sampai mahasiswa tentang pembagian mata pelajaran dengan tujuan dapat menunjang tercapainya fungsi dan tujuan dan tujuan pendidikan nasional serta dapat menumbuhkan generasi muda untuk melanjutkan perkembangan peradaban yang sedang berlangsung di Indonesia.
B.  Pendekatan Pembelajaran dan Implikasinya terhadap Sistem Evaluasi
Dalam Hal ini menerapkan empat pilar yang di keluarkan oleh UNESCO dimana dijelaskan proses pembelajaran memungkinkan peserta didik menguasai pembelajaran dan mampu memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempatan  berinteraksi secara aktif dengan sesame peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Adapun empat pilar yang di perkenalkan oleh UNESCO yaitu:
1.      Learning to Know
Dimana proses pembelajaran yang memungkinkan pelajar/mahasiswa menguasai tehnik dalam  memperoleh pengetahuan bukan semata-mata hanya sekedar memperoleh pengetahuan tersebut. Dalam kaitan dengan pandangan Scheffler relevansi eoistemologi hal yang mengutamakan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji.
2.      Learning to Do
Dimana poses pembelajaran yang memungkinkan pelajar/mahasiswa tidak hanya menguasai kemampuan motorik namun harus dapat menguasai komunikasi, bekerjasama dengan orang lain, serta mengelola dan mengatasi konflik. Dalam kaitan ini Scheffler tentang relevansi Psikologis dimana pendidikan sebagai upaya penguasaan seni menggunakan pengetahuan.
3.      Learning to Live Together
Dimana proses pembelajaran yang mengaruskan peserta didik memiki kemauan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka, dalam kaitan ini peserta didik harus memiliki kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam, namun dalam keragaman tersebut terdapat persamaan.
4.      Learning to Be
Dimana proses pembelajaran mengaruskan peserta didik mengenali dirinya sendiri, dimana di dalam bahasa UU No. 2 Tahun 1989 adalah manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia utuh memiliki kemantapan emosional dan intelektual yang dapat menenal dirinya, yang dapat mengendalikan dirinya, uang konsisten dan yang memiliki rasa empati.
Kita tahu pendidikan yang berlangsung di Indonesia pada umumnya tidak membantu membantu siswa/mahasiswa mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri atau manusia yang utuh karena proses pembelajaran pada berbagai pilar tidak pernah menemukan suka cita, baik itu dari belajar untuk mengetahui, tingkatan kegembiraan karena hasil dalam mencapi tujuan, dan belajar untuk melakukan serta kegembiraan karena mendapatkan bersama-sama untuk tujuan bersama-sama.
3. Evaluasi sebagai media pendidikan dan sarana umpan balik
System evaluasi yang diterapkan akan menentukan keberhasilan kita dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Evaluasi pendidikan yang berupa evalausi hasil belajar seperti UAN tidak dapat diharapkan berdampak pada tercapainya tujuan pendidikan nasional, dimana pasalnya menurut hasil penelitian Benjamin Bloom, tingkah laku belajar siswa/peserta didik akan dipengaruhi oleh perkiraan peserta didik tentang apa yang akan diujikan. Dengan demikian, kalau diujikan adalah penguasaan penegtahuan yang telah dihapal , dengan sendirinya siswa/peserta didik hanya akan belajar materi yang akan diujikan akibatnya peserta siswa/peserta didik akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar meneliti, belajar menulis makalah, belajar mengapresiasikan karya sastra, belajar berdemokrasi, dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya.
2.3.2 Menjadikan Pendidikan Yang Humanis
Berdasarkan  pengertian  tentang  humnisme,  maka  dapat  dikatakan  bahwa pendidikan yang humanis adalah berfokus pada peserta-didik, yaitu yang menghargai keragaman karakteristik mereka, berusaha mengembangkan potensi masing-masing dari mereka secara optimal, mengembangkan kecakapan hidup untuk dapat hidup selaras dengan kondisi pribadi dan lingkungan, memberikan bantuan untuk mengatasi kesulitan pribadi termasuk belajar, serta dengan menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan menilai kemajuan belajar mereka masing-masing.
Pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata Driyarkara, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.Sebenarnya konsep pendidikan yang bercirikan
humanis telah cukup banyak dikemukakan oleh para pendidik. Salah satu tokoh pendidikan humanis antara lain :
Ki Hajar Dewantara (1889 - 1959) seorang tokoh pendidikan Indonesia yang memprakarsai berdirinya lembaga pendidikan Taman Siswa. Dia lebih terkenal dengan filsafat pendidikannya “tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada”. Dewantara mengklasifikasikan tujuan pendidikan dengan istilah “tri-nga” (tiga “nga” - “nga” adalah huruf terakhir dalam abjad Jawa Ajisaka). “Nga” pertama adalah “ngerti” (memahami atau aspek intelektual), “nga” kedua “ngrasa” (merasakan atau aspek afeksi), dan “nga” ketiga adalah “nglakoni” (mengerjakan atau aspekpsikomotorik).
Rumusan ini telah dilakukan sekitar20 tahun sebelum Bloom dkk. Merumuskantaksonomi  tujuan  pendidikan  yang  meliputi  aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Menurut Dewantara, adalah   hak tiap orang untuk mengatur diri sendiri, oleh karena itu pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran dan tenaga. Pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat.
       Tokoh-tokoh  pendidik  tersebut  pada  dasarnya  menekankan  pada  perlunya masing - masing peserta didik yang berbeda karakteristiknya, pembawaannya, keinginannya, dan potensinya. Untuk itu maka keseragaman pendekatan, perlu diubah menjadi keragaman pendekatan. Teori, konsep dan prinsip pendidikan dari para tokoh yang diungkap diatas, menunjukkan adanya sejumlah masalah pendidikanyang  telah  ada  sejak  ratusan  tahun  yang  lalu,  perlu  mendapat  perhatian  dengan sungguh-sungguh.
Pendidikan humanistik yaitu pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia. Manusia didudukkan kembali dalam peranannya dimuka bumi sebagai khalifah dan sebagai hamba. Ada dua sisi manusia yang menjadi kekuatan dasar disini yaitu manusia yang ingin memahami segalanya dan manusia yang menyadari bahwa dia tidak mungkin memahami segalanya. 
Ada beberapa nilai dan sikap dasar manusia yang ingin diwujudkan melalui pendidikan humanistik yaitu: 
1.Manusia yang menghargai dirinya sendiri sebagai manusia
2.Manusia yang menghargai manusia lain seperti halnya dia menghargai dirinya  sendiri.
3.Manusia memahami dan melaksanakan kewajiban dan hak-haknya sebagai manusia.
4.Manusia memanfaatkan seluruh potensi dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
5.Manusia menyadari adanya Kekuatan Akhir yang mengatur seluruh hidup manusia. 
Dalam Hal ini pendidikan yang humanistik tidak akan menghalangi manusia untuk maju. Justru melalui nilai-nilai humanistik pendidikan dikembalikan lagi kepada tujuan azasinya yaitu pemuliaan manusia. Semua manusia diterima dan dihargai harkat dan martabatnya. Tujuan pendidikan tidak direduksi menjadi sekedar alat pemenuhan kebutuhan dunia kerja atau alat bagi orang dewasa untuk menjejalkan sekeranjang pengetahuan tanpa makna dan pemahaman yang semestinya. Pendidikan memiliki tujuan yang jauh lebih mulia. 
Dalam hal ini Pendidikan yang manusiawi justru harus menghargai perbedaan individual. Kenyataan keunikan manusia harus diakui. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan jika ingin pendidikan lebih manusiawi adalah:
1.  Terimalah setiap anak apa adanya, lengkap dengan kekurangan dan kelebihannya
2. Berilah anak pengalaman sukses sehingga tumbuh percaya diri
3. Jangan memaksakan kehendak, karena tanpa dipaksa setiap individu akan bergerak untuk memnuhi kebutuhannya
4. Ukuran keberhasilan tiap anak berbeda-beda. Yang harus dilakukan adalah membantu anak sesuai dengan kemampuannya
5.  Berilah anak toleransi, dorongan semangat, penghargaan serta rasa persahabatan.
6. Berilah anak kebebasan yang disertai rasa hormat dan tanggung jawab 
Melalui pendidikan yang humanis diharapkan anak memiliki pemahaman atas nilai-nilai dirinya sebagai manusia, terhadap diri sendiri, manusia lain, lingkungan, alam semesta dan Sang Pencipta.

           Bahan Bacaaan 

             Anita Lie, DehumanisasiPendidikan :sebuahartikel.
Baharuddin, Makin, Moh. Pendidikan  Humanistik (Konsep, Teori dan Aplikasi dalam Dunia Pendidikan), Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2007
Freire, Paulo. Pendidikan Masyarakat Kota (Terjemahan). Yogyakarta: LKS. 2003
H.A.R Tilar, PendidikanBaruPendidikan Indonesia, jakarta :rinekacipta, 2000
 H. WidyoHari Cahyono, Sudahkah Pendidikan Kita Memerdekakan dan Memanusiakan: wacana islam.blogspot.com
Ki Darmaningtyas, Dampak Dehumanisasi Pendidikan makin meluas :sebuah artikel
M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, Yogyakarta: LKiS, 2001
Media Indonesia  “  Pendidikanjadilahanbisnis “ 20 Pebruari 2008
Paulo Freire, PendidikanKaumTertindas, cet. III, Jakarta: LP3ES, 1991
Paulus Mujiran, KetikaDehumanisasiMenjadiKendala, sebuahartikel.
Paulo Freire, Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan, dalamMenggugatPendidikan,Yogyakarta: PustakaPelajar, 2001
Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untukMembangunEtikaSosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2003
Samuel Bowles dan Herbert Gintis, “Pendidikan Revolusioner” dalam Menggugat Pendidikan, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2001
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: Buku Kompas, 2008









vedio di atas menceritakan tentang seorang motivator  yang memberikan penjelasan berapa berartinya hidup ini, jika dijalani dengan penuh kepercayaan diri yang tinggi dan semangat yang membara, disini dia menceritakan kisah hidupnya dari awal hingga bisa seperti sekarang ini, dimana dia merupakan seseorang yang cacat fisik namun dia bisa melakukan segala hal seperti apa yang bisa dilakukan oleh manusia normalnya ............

perlu ditonton agar didalam hidup anda dapat termotivasi semangat untuk menjalani dan menghargai apa arti dari sebuah kehidupan.

Jangan takut akan kematian

Karena kematian merupakan hal yang ditunggu tungu oleh setiap manusia agar bisa menyatu dengan brahman

Gambaran umum tentang perjalanan manusia sejak meninggalkan badan kasar sampai dengan mencapai tujuan akhirnya, moksa dalam bagian 1, dalam bagian ini akan diberikan penjelasan tambahan terhadap beberapa aspek dari peristiwa yang sangat penting bagi jiwa tersebut.
Dikatakan bahwa jika keluar dari badan dan pergi mengikuti cahaya matahari, bagaimana kalau kita meninggal pada malam hari ?
Demikian juga ada kepercayaan bahwa waktu yang baik untuk mati adalah ketika matahari berjalan ke utara (utarayana), bagaimana bila kita meninggal pada waktu matahari berjalan kea rah selatan (daksinayana). Bukankah kita tidak mungkin mengatur kapan kita akan mati ? sifat-sifat kebiasaan (Moksa) dijelaskan lebih lanjut. Tujuan dari penjelasan ini adalah agar kita dapat mengetahui lebih mendalam tentang dunia dibalik kematian, berdasarkan sumber kitab suci weda.

Omswastyastu

Semoga tuhan selalu melindungi kita
Aliran Nativisme
Pada hakekatnya aliran nativisme bersumber dari leibnitzian tradition yang menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak, oleh karena itu factor lingkungan termasuk factor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak (Kharismaputra, 2009). Hasil perkembangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetic dari kedua orang tua.
Dalam teori ini dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir/bakat. Teori ini muncul dari filsafat nativisma (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealism dan menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir, dan factor alam yang kodrati. Teori ini dipelopori oleh filosof Jerman Arthur Schopenhauer (1788-1860) (Kharismaputra, 2009) yang beranggapan bahwa factor pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh alam sekitar atau pendidikan. Dengan tegas Arthur Schaupenhaur menyatakan yang jahat akan menjadi jahat dan yang baik akan menjadi baik. Pandanga ini sebagai lawan dari optimism yaitu pendidikan pesimisme memberikan dasar bahwa suatu keberhasilan ditentukan oleh factor pendidikan, ditentukan oleh anak itu sendiri. Lingkungan sekitar tidak ada, artinya sebab lingkungan itu tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak.
Walaupun dalam kenyataan sehari-hari sering ditemukan secara fisik anak mirip orang tuanya, secara bakat mewarisi bakat kedua orangtuanya, tetapi bakat pembawaan genetika itu bukan satu-satunya factor yang menentukan perkembangan anak, tetapi masih ada factor lain yang mempengaruhi perkembangan dan pembentukan anak menuju kedewasaan, mengetahui kompetensi dalam diri dan identitas diri sendiri (jati diri) (Kharismaputra, 2009).


2.1.1        Faktor-Faktor Perkembangan Manusia Dalam Teori Nativisme
1.      Faktor genetik
Adalah factor gen dari kedua orangtua yang mendorong adanya suatu bakat yang muncul dari diri manusia. Contohnya adalah Jika kedua orangtua anak itu adalah seorang penyanyi maka anaknya memiliki bakat pembawaan sebagai seorang penyanyi yang prosentasenya besar (Kharismaputra, 2009).

2.      Faktor Kemampuan Anak
Adalah factor yang menjadikan seorang anak mengetahui potensi yang terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Contohnya adalah adanya kegiatan ekstrakurikuler di sekolah yang mendorong setiap anak untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya sesuai dengan bakat dan minatnya(Kharismaputra, 2009).

3.      Faktor pertumbuhan Anak
Adalah factor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak itu normal maka dia kan bersikap enerjik, aktif, dan responsive terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal maka anak tersebut tidak bisa mngenali bakat dan kemampuan yang dimiliki (Kharismaputra, 2009).

2.1.2    Tujuan-Tujuan Teori Nativisme
Didalam teori ini menurut G. Leibnitz:Monad “Didalam diri individu manusia terdapat suatu inti pribadi”. Sejalan dengan  G. Leibnitz:Monad, dalam teori Teori Arthur Schopenhauer (1788-1860) (Kharismaputra, 2009) dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir/bakat. Sehingga dengan teori ini setiap manusia diharapkan:


1.      Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
Dengan teori ini diharapkan manusia bisa mengoptimalkann bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Dengan adanya hal ini, memudahkan manusia mengembangkan sesuatu yang bisa berdampak besar terhadap kemajuan dirinya.

2.      Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi
Jadi dengan teori ini diharapkan setiap manusia harus lebih kreatif dan inovatif dalam upaya pengembangan bakat dan minat agar menjadi manusia yang berkompeten sehingga bisa bersaing dengan orang lain dalam menghadapi tantangan zaman sekarang yang semakin lama semakin dibutuhkan manusia yang mempunyai kompeten lebih unggul daripada yang lain.

3.      Mendorong manusia dalam menetukan pilihan
Adanya teori ini manusia bisa bersikap lebih bijaksana terhadap menentukan pilihannya, dan apabila telah menentukan pilihannya manusia tersebut akan berkomitmen dan berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut dan meyakini bahwa sesuatu yang dipilihnya adalh yang terbaik untuk dirinya.

4.      Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang
Teori ini dikemukakan untuk menjadikan manusia berperan aktif dalam pengembangan potensi diri yang dimilii agar manusia itu memiliki ciri khas atau ciri khusus sebagai jati diri manusia.

5.      Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki
Dengan adanya teori ini, maka manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki, denga artian semakin dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat lebih memaksimalkan baakatnya sehingga bisa llebih optimal.


2.1.4    Aplikasi Pada Masa Sekarang
Untuk mendukung teori Nativisme di era sekarang banyak dibuka pelatiahan dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia mampu mengolah potensi diri. Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan.
Tetapi pelatihan yang diselenggarakan itu didominasi oleh orang-orang yang memang mengetahui bakat yang dimiliki, sehingga pada pengenalan bakat dan minat pada usia dini sedikit mendapat paksaan dari orang tua dan hal itu menyebabkan bakat dan kemampuan anak cenderung tertutup bahkan hilang karena sikap otoriter orangtua yang tidak mempertimbangkan bakat, kemampuan dan minat anak (Kharismaputra, 2009).
Lembaga pelatihan ini dibuat agar menjadi suatu wadah untuk menampung suatu bakat agar kemampuan yang dimiliki oleh anak dapat tersalurkan dan berkembang denag baik sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal. Tanpa disadari di lembaga pendidikan pun juga dibuka kegiatan-kegiatn yang bisa mengembangkan dan menyalurkan bakat anak diluar kegiatan akademik. Sehingga selain anak mendapat ilmu pengetahuan didalam kelas, tetapi juga bisa mengembangkan bakat yang dimilikinya.

kalender Bali

About this blog

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Followers

Blogger news

Blogroll

About

Blogger templates

Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates